Mendidik dengan Kata: Strategi Guru untuk Menumbuhkan Pembaca Sejati

Bagian 1

MENGAPA TIDAK SUKA MEMBACA

 

1.1  Aktivitas Membosankan

Banyak orang menganggap membaca itu membosankan. Membaca merupakan aktivitas yang kita anggap mudah, sering kali kita merasa bahwa membaca itu menghabiskan banyak waktu kemudian secara impulsif kita mengabaikannya. Siregar dalam bukunya, Strategi meningkatkan minat baca di era digital (2018:22) mengatakan “ Banyak siswa yang lebih memilih kegiatan hiburan dibandingkan mambaca karena mereka merasa membaca adalah kegiatan yang membosankan dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Pepatah mengatakan, “Dengan membaca kita akan melihat dunia”. Misalnya, saat kita membaca buku “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, kita akan melihat bagaimana potret masyarakat di era penjajahan.Buku ini membawa pembaca pada perjalanan tokoh Minke yang membuka matanya terhadap kondisi sosial dan politik dunia melalui bacaan dan pengalamannya. Berikut cuplikannya, “Dunia ini luas, Minke, dan engkau harus tahu isinya. Hanya dengan membaca kau bisa memahami apa yang ada di luar sana, di balik batas kampungmu. Buku adalah jendela dunia, dan sekali kau membukanya, kau akan takjub betapa banyak hal yang belum kau ketahui.” (Toer, 1980)

 

Namun, kemajuan dunia digital saat ini perlahan mengubah kebiasaan membaca buku, tidak hanya pada generasi muda, tetapi juga semua usia. Banyak orang mulai tidak memperhatikan buku, mereka mulai meninggalkannya.

Beberapa contoh anak-anak zaman sekarang yang cenderung meremehkan aktivitas membaca. Mereka lebih memilih konten video daripada membaca buku. Dalam survei kelas, ditemukan bahwa sebagian besar siswa lebih sering menonton video di platform seperti YouTube atau TikTok daripada membaca buku. Siswa menganggap membaca buku membosankan karena butuh waktu dan usaha lebih dibanding menonton video yang lebih singkat dan menyajikan informasi dengan cara yang lebih menghibur. Kemampuan literasi siswa menurun, kosakata mereka terbatas, dan kemampuan analisis mereka kurang terasah karena mereka terbiasa dengan konten yang bersifat instan Zubaidah, Siti. (2018). Pengaruh Media Sosial Terhadap Minat Baca Siswa di Sekolah Menengah, dalam Jurnal Indonesia menyebutkan dari 100 siswa responden, 70% siswa mengaku menonton YouTube atau TikTok setiap hari, dengan alasan untuk hiburan atau mencari informasi. Hanya 10% siswa yang membaca buku non- pelajaran setiap hari, sedangkan 75% mengaku jarang membaca buku.

 

1.2  Minat Baca Kurang

Nugraha, J dalam buku Membangun Budaya Baca Di sekolah (2020:45) menyebutkan “kebanyakan siswa tidak memiliki akses yang memadai terhadap buku bacaan yang menarik, sehingga minat mereka terhadap kegiatan membaca menjadi rendah” Dengan munculnya perangkat dan teknologi modern, anak-anak semakin jarang membaca buku.Mereka semakin menikmati game, video, dan berselancar di media sosial. Teknologi membuat informasi cepat dan visual membuat membaca menjadi terlalu lambat dan membosankan.

Seorang siswa yang kecanduan bermain game online mengatakan dia tidak punya waktu untuk membaca buku atau menyelesaikan tugas sekolah tentang literasi.Siswa merasa tidak perlu meluangkan waktu untuk membaca karena mereka pikir bermain game lebih penting daripada membaca. Akibatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk membaca malah habis untuk bermain game.Akibatnya, fokus siswa pada pendidikan terganggu dan pemahaman mereka tentang teks yang kompleks semakin lemah.

 

1.3  Kurangnya Keteladanan Dalam Membaca

Dibanyak keluarga atau lingkungan sekolah, kebiasaan membaca tidak ditunjukkan oleh orang dewasa. Minimnya contoh membaca dari guru atau orang tua menyebabkan siswa tidak menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Di rumah, orang tua lebih sering menggunakan gadget atau menonton televisi di waktu luang mereka, dan jarang terlihat membaca buku. Mereka juga lebih sering memberikan tablet atau smartphone kepada anak- anak sebagai hiburan daripada memperkenalkan buku atau bacaan lain.

Azra mengatakan “Minat baca siswa yang rendah tidak terlepas dari minimnya keteladanan yang diberikan baik oleh para guru maupun orangtua. Ketika mereka tidak terbiasa membaca, maka anak-anak juga sulit untuk memiliki kebiasaan tersebut.” (2006: 22). Ketika orang tua tidak menunjukkan kebiasaan membaca dan lebih mengutamakan teknologi sebagai hiburan, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut. Mereka lebih tertarik pada gadget daripada buku.Akibatnya Anak-anak kurang menghargai pentingnya membaca karena tidak ada contoh positif dari orang tua. Mereka lebih mengasosiasikan waktu luang dengan teknologi digital dibandingkan dengan buku atau bahan bacaan lainnya.

“Ketika anak-anak tidak melihat contoh dari orangtua dan guru yang gemar membaca, mereka pun sulit termotivasi untuk mencintai buku. Keteladanan adalah kunci utama dalam menumbuhkan minat baca.” (Nurhadi, 2004: 45)Di saat anak kehilangan figur dewasa yang menunjukkan kebiasaan membaca, baik yang dilakukan oleh guru maupun orang tua, maka anak akan menganggap membaca bukanlah sesuatu yang penting atau menyenangkan. Anak tidak pernah melihat guru mereka membaca buku di luar materi pelajaran, jarang terlihat membaca buku baik di kelas maupun di luar kelas, Guru hanya memberikan tugas membaca, tetapi tidak memberi contoh, begitu juga anak yang tidak pernah melihat orang tua mereka membaca di rumah, sehingga anak semakin kehilangan role model untuk diikuti, sehingga minat membaca mereka rendah. Mereka menganggap membaca hanya sebuah tugas sekolah, bukan kegiatan yang memiliki manfaat luas.

 

1.4  Perpustakaan Kurang Kreatif

“Perpustakaan harus menjadi ruang yang hidup dan interaktif. Jika perpustakaan tidak menawarkan program-program kreatif yang menarik minat siswa, maka perpustakaan akan sepi, dan minat baca siswa pun tidak akan tumbuh.” (Purwanto, 2012:76). Materi bacaan yang disediakan di sekolah atau perpustakaan sering kali kurang menarik bagi siswa. Mereka tidak menemukan bacaan yang sesuai dengan minat mereka atau tidak ada upaya untuk menyajikan materi yang relevan dengan dunia mereka.

Di perpustakaan sekolah, pustakawan tidak aktif dalam mempromosikan buku atau kegiatan membaca. Perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku tanpa adanya kegiatan menarik seperti klub membaca, pameran buku, atau tantangan literasi. “Perpustakaan sekolah sering kali tidak kreatif dalam menyajikan bahan bacaan. Ketika perpustakaan hanya menjadi ruang penyimpanan buku tanpa kegiatan literasi yang menarik, siswa cenderung enggan untuk berkunjung, apalagi membaca.” (Sutarno NS, 2008 : 58)

Tanpa adanya pustakawan yang berperan aktif dalam menginspirasi siswa, perpustakaan menjadi tempat yang kurang diminati. Siswa tidak tertarik untuk datang ke perpustakaan dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu di tempat lain.Peran perpustakaan sebagai pusat literasi di sekolah melemah, dan siswa kehilangan kesempatan untuk terpapar pada kegiatan yang dapat meningkatkan minat baca mereka. Kurangnya keteladanan dari pustakawan juga memperburuk kondisi tersebut.

 

1.5  Tuntutan Akademik yang Berlebihan

Siswa sering memiliki banyak tugas, ujian, dan kegiatan ekstrakurikuler yang memberatkan, sehingga waktu luang mereka berkurang. Akibatnya, mereka cenderung lebih memilih aktivitas santai seperti menonton video daripada membaca yang dianggap memerlukan konsentrasi lebih. “Tuntutan akademik yang terlalu berat membuat siswa kelelahan dan kehilangan minat untuk membaca di luar bahan pelajaran. Kondisi ini menyebabkan kebiasaan membaca untuk pengayaan diri menjadi terabaikan.” (Baswedan, 2010 : 34)

Siswa seringkali beranggapan bahwa membaca hanya diperlukan untuk urusan akademik dan tidak memiliki manfaat lain di luar lingkungan sekolah. Saat siswa menunjukkan sikap apatis terhadap kegiatan membaca, mereka hanya akan melakukannya ketika diwajibkan untuk ujian atau tugas sekolah, tanpa melihatnya sebagai hal yang menyenangkan atau bermanfaat untuk memperluas pengetahuan. Hal ini berdampak pada rendahnya minat membaca dan tidak terbentuknya kebiasaan membaca pada diri siswa. Mereka tidak dapat melihat manfaat jangka panjang literasi untuk pengembangan pribadi. “Siswa sering kali menghadapi tuntutan akademik yang sangat besar, sehingga waktu yang tersisa untuk membaca buku di luar materi pelajaran hampir tidak ada. Beban akademik ini secara tidak langsung mengurangi ketertarikan siswa terhadap buku.” (Arifin, 2015: 50)

Banyak anak menghadapi tekanan akademis di sekolah, seperti menyelesaikan tugas bacaan dalam waktu singkat atau ujian fokus pada pemahaman teks. Tekanan ini membuat kegiatan membaca terasa sebagai beban, bukan lagi sebagai aktivitas yang menyenangkan atau memperluas wawasan. Ketika membaca dianggap sebagai kewajiban yang menyebabkan stres, anak-anak kehilangan minat untuk membaca secara sukarela. Tekanan akademis yang berkelanjutan dapat menyebabkan kelelahan mental pada anak, sehingga mereka cenderung menghindari membaca dengan alasan untuk menghindari stres.

 

1.6  Minimnya Literasi Digital Terpadu

 

Siti Zahrah, S,(2021) dalam kajian literasinya tentang tantangan literasi di era modern mengatakan “Kurangnya minat baca siswa tidak bisa dilepaskan dari minimnya pendekatan literasi terpadu di sekolah-sekolah. Banyak program literasi yang belum terintegrasi dengan mata pelajaran lain, sehingga siswa merasa kegiatan literasi seperti membaca hanya sebatas tugas, bukan sebagai keterampilan hidup yang harus diterapkan dalam setiap aspek pendidikan”. Meskipun teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan minat membaca, seringkali terdapat kurangnya upaya dalam mengintegrasikan platform digital dengan materi bacaan yang menarik. Jika buku elektronik atau aplikasi literasi digital lebih banyak digunakan, minat baca mungkin meningkat.

Nurhadi (20200 dalam bukunya, Mengintegrasikan Literasi dalam Pendidikan Modern, menulis tentang “ Program literasi terpadu yang menyeluruh belum menjadi bagian integral dalam pendidikan formal kita, sehingga siswa tidak melihat membaca sebagai kebutuhan atau kebiasaan”. Kurang minat baca anak pada era digital saat ini mungkin disebabkan oleh kurangnya integrasi literasi digital dalam pendidikan. Literasi digital terpadu melibatkan kemampuan menggunakan perangkat teknologi serta berpikir kritis, kreatif, dan komunikatif dalam menghadapi informasi digital.

Dampak kurangnya literasi digital terpadu terhadap minat baca anak di antaranya adalah keterbatasan akses pada sumber digital yang sesuai. Literasi digital terpadu melibatkan penggunaan teknologi dan sumber daya digital yang sesuai dengan kebutuhan belajar anak. Ketika akses terhadap sumber digital yang berkualitas seperti e-book, jurnal elektronik, atau materi edukasi interaktif minim, anak-anak cenderung lebih memilih hiburan digital yang kurang mendukung keterampilan membaca, seperti video game atau media sosial. Konten digital yang menarik dan bermanfaat sulit ditemukan dalam pembelajaran, sehingga minat anak terhadap membaca digital menurun.

Literasi digital terpadu harus mencakup kemampuan anak dalam mengevaluasi dan menilai keandalan informasi yang ditemukan di internet. Sayangnya, banyak anak tidak mendapatkan keterampilan ini secara menyeluruh. Akibatnya, mereka menjadi rentan terhadap konsumsi informasi yang tidak relevan atau tidak akurat. Hal ini membuat mereka merasa kewalahan dan enggan untuk melanjutkan membaca. Tanpa panduan yang tepat, anak-anak tidak terbiasa dengan proses pencarian informasi yang bernilai, yang pada akhirnya menurunkan minat mereka terhadap membaca.

Teknologi bisa menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan minat baca jika diintegrasikan dengan tepat. Namun, tanpa literasi digital yang menyeluruh, teknologi hanya akan menjadi gangguan. Banyak sekolah belum menggabungkan teknologi dengan pembelajaran literasi secara menyeluruh, sehingga anak-anak tidak menyadari manfaat perangkat digital dalam pengalaman membaca mereka. Jika teknologi hanya digunakan untuk hiburan, anak-anak tidak akan merasakan manfaat membaca melalui perangkat digital, yang dapat mengurangi motivasi mereka untuk membaca.

Anak-anak sekarang lebih sering terpapar konten visual dan audio melalui platform seperti YouTube, TikTok, atau podcast, yang dapat mengurangi minat mereka pada teks tertulis. Literasi digital terpadu perlu mencakup keseimbangan antara konsumsi media visual, audio, dan teks tertulis agar anak-anak tetap termotivasi untuk membaca. Tanpa pendekatan ini, mereka cenderung menghindari konten teks dan lebih suka media visual seperti video, yang dapat mengurangi motivasi untuk membaca.

Literasi digital terpadu melibatkan kerjasama antara guru, orang tua, dan teknologi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kemampuan membaca anak. Sayangnya, banyak orang tua dan guru tidak terlalu akrab dengan teknologi digital dan cara menggunakannya untuk mendukung literasi. Kurangnya Kolaborasi antara Guru, Orang Tua, dan Teknologi mengakibatkan anak-anak lebih sering menggunakan perangkat digital untuk kegiatan non-pendidikan, seperti bermain game atau berinteraksi di media sosial, ketika dukungan tersebut tidak ada. Kurangnya arahan ini mengurangi waktu yang mereka habiskan untuk membaca.

 
Literasi digital terpadu harus melibatkan anak dalam pembelajaran yang kreatif dan menarik. Penggunaan aplikasi baca interaktif, permainan edukatif, atau platform literasi digital dapat meningkatkan minat membaca anak. Namun, jika pendekatan ini tidak diterapkan, anak-anak akan merasa bahwa membaca melalui perangkat digital kurang menyenangkan dibandingkan aktivitas digital lain yang lebih menarik. Kegiatan membaca perlu direncanakan dengan baik agar anak-anak dapat terlibat secara aktif, bukan hanya sebagai konsumen pasif informasi digital. Literasi digital terpadu juga melibatkan kesempatan anak-anak untuk membaca dan berdiskusi secara kolaboratif melalui platform digital. Anak-anak merasa bahwa membaca adalah aktivitas individual dan terisolasi jika tidak diperkenalkan dengan cara ini, yang dapat menyebabkan kehilangan motivasi. Pembelajaran kolaboratif berbasis digital, seperti forum diskusi, aplikasi berbagi bacaan, atau proyek menulis bersama, dapat meningkatkan keterlibatan anak dan membuat aktivitas membaca lebih menarik.

Tidak ada Keselarasan antara Pembelajaran Formal dan Literasi Digital. Banyak sekolah yang masih terpaku pada metode pembelajaran tradisional tanpa mengintegrasikan teknologi digital dalam kurikulum secara terpadu. Literasi digital seharusnya diintegrasikan dalam semua aspek pembelajaran, seperti membaca, menulis, dan keterampilan komunikasi. Ketika literasi digital tidak diselaraskan dengan pembelajaran formal, anak-anak merasa kesenjangan antara apa yang mereka pelajari di sekolah dan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan minat membaca, karena mereka menganggap teknologi digital hanya sebagai sarana hiburan, bukan sarana pembelajaran.

Literasi digital yang terintegrasi memerlukan akses ke konten digital yang berkualitas, menarik, dan relevan dengan perkembangan anak. Ketika anak-anak tidak memiliki akses ke e- book menarik, artikel interaktif, atau aplikasi pembelajaran yang sesuai, motivasi mereka untuk terlibat dalam membaca digital cenderung menurun. Jika konten yang tersedia hanya monoton atau tidak menarik, anak-anak lebih memilih kegiatan lain yang lebih menghibur, seperti menonton video atau bermain game.

Minimnya literasi digital terpadu berkontribusi signifikan terhadap rendahnya minat baca anak-anak di era digital. Literasi digital melibatkan lebih daripada sekadar penggunaan teknologi. Ini juga melibatkan kemampuan kritis untuk menggunakan informasi digital, berpikir kreatif, dan kemampuan membaca dan menulis dalam lingkungan digital yang terus berkembang. Dengan adanya literasi digital terpadu, anak-anak akan lebih termotivasi untuk membaca karena mereka dapat melihat bagaimana teknologi dapat meningkatkan pengalaman mereka, bukan hanya sebagai alat untuk mengalihkan perhatian.

1.7  Kurangnya Pembinaan dan Motivasi

 
Gunawan.W (2020) dalam bukunya Motivasi dalam pembinaan literasi Siswa, mengatakan “Minimnya motivasi yang diberikan kepada siswa untuk membaca berperan signifikan dalam rendahnya tingkat literasi. Pembinaan yang bersifat jangka pendek tidak cukup untuk membangun minat baca yang berkelanjutan. Guru dan orang tua harus bekerja sama dalam memberikan motivasi terus-menerus.” Siswa tidak selalu mendapatkan dorongan atau pembinaan dari guru atau orang tua untuk mengembangkan minat membaca. Tanpa bimbingan dan motivasi yang kuat, membaca tidak terasa penting atau menyenangkan bagi mereka.

Dalam buku Pembinaan Minat Baca Siswa di Sekolah Menengah yang ditulis oleh Slamet,S.B (2018) menyatakan “Salah satu faktor utama rendahnya minat baca di kalangan siswa adalah kurangnya pembinaan secara teratur dan sistematis di lingkungan pendidikan. Tanpa adanya dorongan yang konsisten dari guru dan institusi pendidikan, siswa cenderung tidak terbiasa dengan budaya membaca.” Kegiatan membaca bersama atau diskusi buku tidak pernah dilakukan, baik oleh guru maupun siswa. Tidak ada waktu khusus di dalam kelas untuk membaca buku. Guru lebih fokus pada penjelasan materi pelajaran daripada memberikan kesempatan untuk aktivitas literasi. Tanpa program yang jelas dan bimbingan langsung dari guru, siswa kurang terlatih dalam kegiatan membaca. Mereka menganggap aktivitas tersebut sebagai tanggung jawab individu, bukan sebagai bagian dari kebiasaan kolektif di sekolah.

Sebagai akibatnya, siswa tidak memiliki motivasi untuk membaca secara teratur, dan hanya membaca ketika ada tugas. Minat membaca secara mandiri menurun karena kurangnya dukungan lingkungan yang mendorong mereka.
 

1.8  Faktor Sosial dan Lingkungan

Menurut Purwanto (2020:89) dalam bukunya Faktor-Faktor Penentu Minat Baca Siswa di Era Digital, mengatakan bahwa “Faktor sosial, termasuk interaksi dengan teman sebaya, guru, dan keluarga, memiliki peran penting dalam mengembangkan minat baca siswa. Lingkungan sosial yang kurang kondusif, di mana membaca bukanlah bagian dari kehidupan sehari-hari, sering kali menjadi penyebab rendahnya motivasi siswa untuk membaca.” Lingkungan sekitar juga mempengaruhi minat membaca siswa. Jika diantara teman sebaya tidak ada yang gemar membaca, maka minat baca tidak akan timbul didalam lingkaran pertemanan itu.

“Minat baca tidak hanya dipengaruhi oleh akses terhadap bahan bacaan, tetapi juga oleh lingkungan sosial yang mendukung. Ketika lingkungan sosial, seperti keluarga dan sekolah, tidak memberikan perhatian yang cukup pada kegiatan membaca, minat baca siswa cenderung rendah. Dukungan dari orang tua, guru, dan teman sebaya sangat penting untuk membangun kebiasaan membaca yang kuat.”( Sujana, 2018: 112).

 
Beberapa faktor sosial dan lingkungan berikut ini bisa menjadi penyebab minat baca anak berkurang. yaitu :
 

1.     Kurangnya Teladan dari Orang Tua

Orang tua berperan sebagai contoh pertama bagi anak dalam hal minat dan kebiasaan membaca. Ketika orang tua tidak menunjukkan kebiasaan membaca atau tidak menyediakan bahan bacaan di rumah, anak-anak cenderung tidak melihat membaca sebagai aktivitas penting. Minimnya waktu yang dihabiskan orang tua untuk membaca bersama anak juga memperlemah minat anak terhadap buku. Kesibukan orang tua yang terlalu fokus pada teknologi atau pekerjaan dapat membuat anak merasa bahwa membaca bukanlah aktivitas yang menarik atau penting.
 

2.     Pengaruh Teman Sebaya

Lingkungan pergaulan anak berpengaruh pada minat baca mereka. Jika dalam kelompok teman sebaya, tidak ada kecenderungan untuk membaca atau mendukung aktivitas membaca, maka anak-anak cenderung mengikuti kebiasaan tersebut. Sebaliknya, jika lingkungan pertemanan lebih banyak dihabiskan dengan kegiatan lain seperti bermain game atau menonton televisi, minat anak terhadap membaca akan menurun. Kurangnya dorongan dari teman sebaya membuat anak merasa membaca tidak relevan atau menarik dalam kehidupan sosial mereka.
 

3.     Tekanan Sosial dari Budaya Populer

Budaya pop saat ini sangat memikat perhatian anak-anak, dan bernama terutama dalam bermain media sosial, video game, dan hiburan konten digital lainnya. Tekanan sosial diarahkan pada tren hiburan semakin visual dan interaktif membuat membaca tampak membosankan, dan karenanya, tidak sepopuler aktivitas digital lainnya. Itu adalah alasan bermain game anak-anak yang terpengaruh oleh budaya pop cenderung memainkan lebih banyak waktu di media sosial atau menonton lebih banyak video daripada membaca buku: jika anak mendapat dukungan dan dorongan untuk meluangkan waktu untuk membaca, mereka berduka jika anak tidak mendapat dukungan.
 

4.     Lingkungan Sekolah yang Kurang Mendukung

Sebenarnya sekolah juga memiliki peran besar dalam hal ini. Saat ini salah satu isu saat ini yang saya hadapi adalah dalam banyak sekolah, program berkenaan belum terintegrasi dengan baik ke dalam program sekolah dan memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan. Jika perpustakaan sekolah sama sekali tidak menarik atau tidak ada kegiatan literasi yang interaktif dan kreatif, anak-anak akan membaca secara otomatis kurang minat. Selain itu, jika jumlah buku yang dibaca sebanding dengan beban akademis, anak-anak malas membaca karena lebih banyak membaca adalah tugas, bukan sumber hiburan atau informasi.
 

5.     Kurangnya Akses ke Buku atau Sumber Bacaan

Di beberapa daerah, keterbatasan akses terhadap bahan bacaan berkualitas menjadi salah satu faktor utama yang menurunkan minat baca anak. Ketidaktersediaan buku atau sumber literasi di rumah, sekolah, atau sekitar bisa membuat anak-anak kehilangan kebiasaan membaca. Dalam kondisi di mana perpustakaan umum atau sekolah kurang memadai, atau harga buku mahal, anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk eksplorasi dunia literasi. Ini mengurangi semangat mereka dalam memulai atau melanjutkan kegiatan membaca.
 

6.     Peran Media dan Teknologi

Lingkungan yang dikelilingi oleh teknologi canggih, seperti televisi, smartphone, dan internet, seringkali mengurangi waktu yang dihabiskan anak untuk membaca. Media elektronik, dengan kontennya yang mudah diakses dan lebih menghibur, cenderung menarik perhatian anak-anak lebih kuat daripada buku. Tanpa pengaturan yang tepat, teknologi dapat menyita waktu yang seharusnya digunakan untuk membaca. Hal ini membuat anak-anak cenderung memilih hiburan instan daripada membaca yang membutuhkan konsentrasi lebih.
 

7.     Dukungan Sosial yang Tidak Memadai

Dukungan dari lingkungan sosial, seperti komunitas atau lembaga sosial, sangat penting dalam mengembangkan minat baca anak. Ketika masyarakat tidak memiliki program-program pendukung literasi seperti festival buku, lomba membaca, atau program literasi keluarga, anak-anak cenderung merasa bahwa membaca bukanlah prioritas. Lingkungan yang tidak memfasilitasi kegiatan membaca atau tidak mendorong budaya literasi yang kuat dapat mengurangi minat anak-anak dalam membaca.
 

8.     Stigma Sosial Terhadap Membaca

Dalam beberapa lingkungan sosial, terutama di kalangan anak-anak atau remaja, membaca sering kali dianggap sebagai kegiatan yang “kurang keren” atau “tidak populer.” Jika anak- anak merasa bahwa membaca tidak memberikan status sosial yang tinggi di mata teman-temannya, mereka cenderung menghindari kegiatan tersebut. Tekanan dari lingkungan yang lebih memprioritaskan kegiatan non-akademis atau hiburan digital bisa membuat anak-anak enggan terlibat dalam kegiatan literasi, karena takut dianggap berbeda atau tidak sesuai dengan tren.
 

9.     Minimnya Pembiasaan Membaca Sejak Dini

Pembiasaan membaca sejak usia dini sangat penting dalam membentuk minat baca anak. Jika anak-anak tidak terbiasa membaca buku atau mendengarkan cerita dari kecil, mereka kemungkinan besar tidak tertarik dengan kegiatan membaca di sekolah. Lingkungan keluarga yang tidak memberi perhatian pada kegiatan membaca bersama anak akan berdampak negatif pada minat literasi anak, sehingga fondasi dasar yang kuat dalam literasi tidak terbentuk dengan baik. Kurangnya kebiasaan ini menyulitkan perkembangan minat baca di masa depan.

Faktor sosial dan lingkungan berperan penting dalam kurangnya minat baca anak. Keteladanan orang tua, pengaruh teman sebaya, budaya populer, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat, semuanya berperan penting dalam menentukan cara anak-anak melihat kegiatan membaca. Lingkungan yang tidak mendukung literasi, baik melalui keterbatasan akses, teknologi yang mengganggu, maupun stigma sosial, dapat menghambat perkembangan minat baca anak. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk membangun lingkungan yang mendukung perkembangan literasi anak.

Kurangnya minat baca anak tidak hanya disebabkan oleh faktor individual, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan yang penting. Faktor-faktor ini melibatkan peran keluarga, teman sebaya, sekolah, dan masyarakat luas, yang memengaruhi pandangan dan kebiasaan membaca anak. Berikut adalah penjelasan rinci tentang bagaimana faktor sosial dan lingkungan memengaruhi minat baca anak.
 

10.  Minimnya Dukungan Keluarga terhadap Aktivitas Membaca

Keluarga memainkan peran utama dalam pembentukan kebiasaan membaca anak. Namun, saat keluarga tidak mendukungnya cukup, siswa menjadi tidak termotivasi untuk melakukan tugas tersebut. Jika keluarga tidak memberikan cukup waktu bersama untuk membaca, membuka akses ke beberapa buku menarik untuk dibaca, atau menggali suasana literasi di dalam rumah, anak-anak kehilangan minat. Selain itu, banyak ibu atau ayah mencurahkan perhatian mereka pada aktivitas alternatif, seperti melihat siaran televisi, menggunakan jejaring sosial, dll., Oleh tahu para tetua mereka dalam hal membaca.
Anak-anak yang besar di dalam lingkungan yang tidak terbiasa ditekan akan pentingnya membaca akan cenderung menganggap aktivitas tersebut tidak relevan dan tidak menarik, yang mengakibatkan minat baca yang rendah.
 

11.  Pengaruh Teman Sebaya

Teman sebaya sangat memengaruhi minat dan kebiasaan anak. Jika anak-anak berada di lingkungan di mana teman-teman mereka tidak memiliki minat terhadap membaca atau lebih tertarik pada aktivitas non-literasi seperti bermain game atau berselancar di media sosial, mereka cenderung meniru perilaku tersebut. Anak-anak seringkali merasa tertekan untuk mengikuti tren sosial, dan jika membaca bukan bagian dari tren tersebut, mereka akan lebih memilih aktivitas lain yang lebih populer di kalangan teman-teman mereka.
Anak-anak yang kurang memiliki kelompok teman yang mendukung atau berbagi minat dalam membaca mungkin kehilangan dorongan untuk membaca karena merasa hal tersebut tidak relevan dengan lingkup sosial mereka.
 

12.  Minimnya Lingkungan yang Mendukung Literasi di Sekolah

Sekolah harus menjadi faktor utama dalam pembangunan budaya literasi. Namun, banyak sekolah belum berhasil menciptakan lingkungan kondusif untuk kegiatan membaca. Keterbatasan fasilitas seperti perpustakaan yang kurang lengkap, ketiadaan ruang baca yang nyaman, serta terbatasnya waktu dan kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan literasi di luar kurikulum formal bisa menjadi penghalang bagi anak untuk mengembangkan minat baca.

Tanpa lingkungan sekolah yang mendorong literasi, seperti program membaca yang menarik, akses ke buku yang bervariasi, atau kegiatan literasi kreatif, anak-anak mungkin merasa bahwa membaca hanya sebatas tugas sekolah, bukan sebagai kegiatan yang menyenangkan atau bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
 

13.  Kurangnya Akses pada Bahan Bacaan Berkualitas

Banyak anak, khususnya yang tinggal di daerah terpencil atau berlatar belakang ekonomi rendah, tidak mudah mengakses bahan bacaan yang beragam dan berkualitas. Akses ke buku, perpustakaan, atau materi literasi digital yang menarik dan sesuai dengan minat anak seringkali terbatas. Ketika anak-anak tidak dapat menemukan buku atau bahan bacaan yang sesuai dengan minat dan usia mereka, mereka cenderung kehilangan minat dalam membaca.

Anak-anak yang tidak memiliki akses ke buku-buku menarik atau sesuai dengan tingkat keterampilan mereka akan kesulitan mengembangkan kebiasaan membaca. Tanpa bahan bacaan yang menarik, membaca bisa jadi kurang menarik dan kurang memotivasi.
 

14.  Pengaruh Media Sosial dan Teknologi

Di masa kini, anak-anak semakin terpaku pada gawai dan internet. Sebagian besar waktu luang mereka dihabiskan untuk berinteraksi dengan teknologi ini. Saat ini, sangat mudah bagi mereka untuk menonton video, bermain game, atau mengakses media sosial. Akibatnya, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk membaca menjadi berkurang.

Media sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Teman-teman mereka dan tokoh publik yang mereka ikuti jarang sekali mengajak atau memberi contoh untuk rajin membaca. Hal ini membuat anak-anak lebih memilih mengikuti tren atau kegiatan yang menurut mereka lebih menarik.
 

15.  Minimnya Program Literasi Masyarakat

Program-program literasi berbasis masyarakat, termasuk perpustakaan umum, klub buku, atau festival literasi, harus dianggap sebagai katalis yang sangat diperlukan pada anak-anak muda di dunia yang berusaha membuat rencana ini berhasil. Sayangnya, di banyak negara, akses ke program-program ini belum tentu tersedia atau diorganisasi dengan cara yang efektif. Pada akhirnya, jika masyarakat tidak mendukung program- program yang menekankan pentingnya literasi melalui kegiatan yang menarik yang mempererat kebiasaan anak dengan kebiasaan itu, anak-anak tidak memiliki alasan untuk percaya bahwa membaca adalah bagian penting dari kegiatan sosial mereka sendiri.. Anak-anak tanpa dorongan dan program literasi yang menarik tidak pernah didorong oleh komunitas setempat mereka untuk melihat jenis aktivitas membaca apakah kebiasaan masyarakat atau kegiatan yang dihargai.
 

16.  Stigma Sosial terhadap Membaca

Selain itu, di beberapa lingkungan sosial tertentu, membaca adalah kegigihan yang membosankan atau bahkan tidak keren. Anak yang tumbuh dan dibesarkan di tempat semacam mungkin  mengalami  tekanan  untuk  memilih  aktivitas  lain daripada dinding tulis. Berbagai grup tekanan di sekolah yang lebih malas dan puas hanya menonton TV atau bermain game dapat membuat pemikiran mereka enggan menghabiskan waktu belajar membaca.

Stigma sosial ini mungkin memperlakukan membaca sebagai hal yang membosankan dan bahkan kontradiktif dengan identitas kelompok mereka.
 

17.  Peran Model atau Tokoh Teladan

Anak-anak sering mencari tokoh panutan baik di rumah, sekolah, atau media. Jika mereka tidak melihat orang tua, guru, atau tokoh masyarakat yang menunjukkan kebiasaan membaca, mereka akan menganggap bahwa membaca bukanlah aktivitas penting. Sebaliknya, anak-anak yang memiliki panutan yang suka membaca cenderung juga menjadi gemar membaca. Ketidakhadiran contoh teladan yang mengedepankan pentingnya literasi di sekitar anak dapat mengurangi minat mereka dalam membaca.

Tanpa figur teladan yang menunjukkan kebiasaan membaca dengan aktif, anak-anak akan kurang termotivasi untuk membentuk kebiasaan membaca sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari.

Faktor sosial dan lingkungan memiliki peran krusial dalam membentuk minat baca anak. Minimnya dukungan keluarga, pengaruh  teman  sebaya  yang  kurang  mendukung  literasi, kurangnya akses bahan bacaan berkualitas, pengaruh media sosial dan teknologi, serta kurangnya program literasi berbasis masyarakat semua berkontribusi terhadap rendahnya minat baca anak. Lingkungan yang tidak kondusif untuk kegiatan literasi membuat anak-anak sulit menemukan kegembiraan dan manfaat dalam membaca. Sehingga, mereka lebih cenderung memilih aktivitas lain yang lebih mendominasi perhatian sosial dan waktu mereka.
 

1.9  Beban Psikologis atau Kebosanan

Beberapa siswa menganggap membaca sebagai aktivitas yang melelahkan atau membosankan, terutama jika dikaitkan dengan tugas wajib sekolah atau bacaan yang sulit dipahami.

Rahmawati, D. (2021:57). Dalam bukunya Membaca dengan Gembira: Mengatasi Kebosanan dan Stres pada Siswa. Ia mengatakan bahwa “”Kebosanan adalah salah satu alasan utama mengapa siswa enggan membaca. Ketika bahan bacaan yang disajikan tidak menarik atau terlalu monoton, siswa mudah kehilangan minat. Beban psikis, baik dari tekanan akademis maupun masalah sosial, memperburuk situasi ini, menjadikan kegiatan membaca terasa sebagai beban tambahan.”

Beban psikologis dan kebosanan memainkan peran besar dalam menurunkan minat baca anak-anak. Tekanan akademis, kecemasan, pengalaman buruk, hingga kebosanan karena konten yang tidak menarik atau metode membaca yang monoton dapat membuat anak-anak enggan terlibat dalam kegiatan literasi. “Beban psikis yang berlebihan, seperti stres akibat tuntutan akademis yang tinggi atau masalah personal, dapat menghalangi minat siswa untuk membaca. Ketika siswa merasa tertekan secara emosional, kegiatan membaca sering kali dianggap sebagai aktivitas yang membosankan dan tidak memberi kesenangan.” (Santoso, 2019           :134).Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan memberikan pengalaman membaca yang positif, menarik, dan variatif agar anak-anak dapat mengembangkan minat baca secara alami tanpa merasa               terbebani.    Adapun    beban    kebosan    yang    dapat mempengaruhi beban psikologi anak karena.
 

1.     Konten yang Tidak Menarik

Banyak anak yang merasa bosan ketika materi bacaan yang disajikan tidak relevan atau tidak menarik bagi mereka. Jika buku yang disediakan terlalu monoton, kering, atau tidak sesuai dengan minat mereka, anak-anak cenderung cepat kehilangan perhatian. Bacaan yang tidak memancing rasa ingin tahu atau tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari membuat kegiatan membaca terasa membosankan. Kebosanan ini memperlemah minat mereka untuk membaca lebih lanjut, apalagi jika tidak ada variasi dalam pilihan buku yang tersedia.
 

2.     Kecemasan atau Rasa Tidak Percaya Diri

 
Anak-anak yang memiliki kecemasan atau kurang percaya diri terkait kemampuan membaca mereka seringkali merasa terintimidasi oleh buku atau teks yang sulit. Mereka mungkin takut gagal memahami isi bacaan atau merasa malu jika tidak dapat mengikuti pelajaran di kelas. Beban psikologis ini membuat mereka enggan untuk berusaha lebih dalam kegiatan membaca. Kecemasan yang berkelanjutan, terutama di lingkungan yang tidak mendukung atau penuh tekanan, akan menurunkan minat baca mereka secara signifikan.
 

3.     Kelelahan Mental

Anak-anak yang mengalami kelelahan mental, baik karena terlalu banyak tugas sekolah, aktivitas ekstrakurikuler, atau stimulasi digital yang berlebihan, sering kali tidak memiliki energi atau konsentrasi yang cukup untuk membaca. Kelelahan ini membuat mereka merasa membaca membutuhkan usaha yang terlalu besar, sehingga mereka lebih memilih aktivitas yang lebih pasif, seperti menonton televisi atau bermain game. Beban mental yang tinggi ini secara perlahan menurunkan minat baca karena mereka merasa bahwa membaca membutuhkan energi yang lebih besar daripada hiburan instan.
 

4.     Trauma Pengalaman Buruk dalam Membaca

Beberapa anak mungkin pernah mengalami pengalaman negatif terkait membaca, seperti dikritik karena salah membaca atau mendapat hukuman ketika tidak bisa menyelesaikan tugas membaca dengan baik. Pengalaman-pengalaman ini dapat menimbulkan trauma yang membuat mereka enggan untuk terlibat dalam kegiatan membaca. Anak-anak yang terus-menerus dihadapkan dengan pengalaman membaca yang penuh tekanan atau penghinaan cenderung mengasosiasikan membaca dengan perasaan negatif, sehingga mereka menghindari buku atau kegiatan literasi.
 

5.     Rasa Terpaksa dalam Membaca

Ketika anak-anak merasa dipaksa untuk membaca, baik oleh guru di sekolah atau orang tua di rumah, mereka seringkali merasakan resistensi internal. Rasa terpaksa ini membuat mereka melihat membaca sebagai tugas yang membebani, bukan sebagai aktivitas yang menyenangkan. Beban psikologis karena paksaan dapat menyebabkan anak-anak mengembangkan antipati terhadap buku, sehingga mereka lebih cenderung menghindari membaca di waktu luang.

6.     Lingkungan Belajar yang Tidak Mendukung

Suasana dan lingkungan tempat anak-anak membaca sangat mempengaruhi minat baca mereka. Lingkungan yang tidak nyaman, seperti suasana kelas yang terlalu kaku, kurangnya dukungan dari guru, atau suasana rumah yang bising, dapat membuat anak-anak sulit untuk berkonsentrasi saat membaca.
 
Kebosanan juga bisa muncul dari lingkungan yang tidak memotivasi anak untuk mengeksplorasi bacaan baru. Tanpa suasana yang mendukung, anak-anak merasa sulit menemukan kenyamanan dan kesenangan dalam membaca.
 

Bagian II

DAMPAK PENGGUNAAN KATA DALAM KEGIATAN MEMBACA

 

2.1  . Peningkatan Keterampilan Kognitif

Membaca meningkatkan daya kritis. Peserta didik terbiasa memproses informasi secara mendalam. Kata-kata yang ditemui dalam bacaan membantu mereka membangun pemahaman dan analisis kritis terhadap teks. Kata-kata tesebut juga merangsang pemikiran logis, serta kemampuan untuk mengevaluasi ide-ide.

Membaca berbagai teks membantu siswa menambah perbendaharaan kata dan meningkatkan Kosakata dan Pemahaman Bahasa. Membaca kata-kata baru memperkaya kemampuan mereka dalam berbicara dan menulis dan meningkatkan terhadap berbagai konteks.

Aktivitas membaca juga memerlukan fokus yang baik. Proses ini juga akan mengasah kemampuan siswa dalam menyimpan informasi dalam jangka panjang, membantu mereka dalam memahami konsep-konsep yang kompleks. Itulah mengapa Simmons menjelaskan aktivitas membaca meningkatkan daya ingat dan konsentrasi.
 

2.2  . Pembentukan Karakter dan Empati

Melalui bacaan, terutama cerita dan narasi yang menggambarkan kehidupan orang lain, peserta didik bisa mempelajari berbagai perspektif, budaya, dan pengalaman. Meningkatkan Empati dan Pemahaman Sosial. Kata-kata yang menggambarkan emosi dan situasi sosial mampu membangun rasa empati dan pemahaman yang lebih baik terhadap orang lain. kurangnya minat baca tidak hanya berdampak pada kemampuan akademik, tetapi juga berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan empati siswa. Literasi yang baik tidak hanya mencakup pemahaman teks, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian yang kuat dan peduli. Membaca buku, terutama fiksi, dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk berempati dengan karakter-karakter yang mengalami berbagai konflik dan tantangan hidup. Namun, karena siswa jarang membaca, mereka kurang terpapar pada cerita-cerita yang mengajarkan pemahaman dan pengertian terhadap orang lain.

Seorang siswa yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan video game atau konten hiburan visual, daripada membaca buku fiksi atau nonfiksi kurang membuka wawasan tentang kondisi sosial dan emosional manusia. Siswa jarang membaca kisah yang memerlukan pemahaman lebih dalam tentang perasaan dan perjuangan karakter, Akibatnya Siswa tersebut menunjukkan kurangnya empati dalam interaksi sehari-hari, misalnya tidak memahami kesulitan teman sekelas atau kurang peka terhadap kondisi emosional orang-orang di sekitarnya. Kurangnya bacaan yang memicu empati membuat mereka lebih terfokus pada diri sendiri.

Bacaan yang baik sering kali mengajarkan cara menghadapi konflik, baik internal maupun eksternal, melalui cerita karakter yang berhasil menemukan solusi atas masalah mereka. Tanpa membaca bacaan semacam ini, siswa tidak terbiasa dengan pola berpikir yang mendalam atau belajar dari pengalaman orang lain.

Seorang siswa yang lebih sering mengonsumsi konten digital yang cepat dan instan (seperti media sosial atau video pendek) jarang membaca buku yang membahas keterampilan sosial dan penyelesaian konflik. Bacaan yang lebih panjang dan mendalam sering diabaikan karena dianggap membosankan, Akibatnya, siswa menjadi lebih emosional dan impulsif ketika menghadapi masalah, karena tidak terbiasa memahami konflik dari sudut pandang yang lebih luas atau berpikir kritis dalam penyelesaiannya. Ini mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan konflik secara baik dan rasional, baik di lingkungan sekolah maupun di luar.

Bacaan yang membahas isu-isu sosial dapat menumbuhkan kesadaran dan empati siswa terhadap penderitaan orang lain atau masalah sosial yang lebih besar.
 
Siswa tidak terbiasa membaca buku atau artikel yang membahas isu-isu sosial dan kemanusiaan seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau lingkungan. Mereka lebih sering menghabiskan waktu dengan hiburan online tanpa ada pengetahuan yang mendalam tentang isu-isu global.

Penggunaan kata dalam pembelajaran dan interaksi sehari-hari memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan karakter dan empati siswa. Kata-kata membentuk cara seseorang memandang dunia, mengekspresikan perasaan, dan merespons situasi sosial, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentukan karakter dan pengembangan empati. Berikut adalah penjelasan detail dampak penggunaan kata dalam pembentukan karakter dan empati, disertai data dan referensi pendukung.

  1. Kata dalam Pembentukan Karakter Moral

Pembentukan karakter siswa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mereka internalisasikan. Kata-kata yang digunakan dalam bacaan, percakapan, dan pengajaran sering kali mengandung nilai-nilai moral yang kuat, yang dapat memengaruhi cara siswa membangun pandangan hidup, sikap, dan perilaku mereka. Melalui kata-kata, siswa belajar tentang kebaikan, kejujuran, tanggung jawab, serta nilai-nilai lain yang penting dalam pembentukan karakter.
 
Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character menyatakan bahwa pendidikan karakter yang efektif memerlukan penggunaan kata-kata yang bermakna dan penuh nilai. Kata-kata dalam narasi moral atau cerita yang mendidik dapat memberikan contoh-contoh moral yang kuat, yang kemudian diinternalisasi oleh siswa sebagai bagian dari perilaku mereka.

Turiel (2006) juga menekankan pentingnya dialog moral yang mencakup penggunaan kata-kata yang menekankan pengambilan keputusan moral dan refleksi. Kata-kata dalam diskusi moral mendorong siswa untuk mengevaluasi tindakan mereka dan membuat keputusan yang didasarkan pada nilai moral yang baik.Langkah praktis:

  1. Guru dapat menggunakan cerita atau teks yang mengandung pesan moral untuk merangsang diskusi di kelas tentang karakter.
  2. Kata-kata seperti “adil”, “jujur”, “bertanggung jawab” perlu ditekankan dalam percakapan harian dengan siswa, dan siswa didorong untuk menggunakan kata-kata tersebut dalam interaksi mereka.
  1. Kata Sebagai Pendorong Empati

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Kata-kata memiliki kekuatan untuk membuat siswa merasakan emosi orang lain, baik melalui cerita, dialog, atau percakapan. Kata-kata yang penuh makna, terutama dalam literatur, membantu siswa menempatkan diri mereka pada posisi  karakter  dalam  cerita,  sehingga  mengembangkan kemampuan untuk merasakan dan memahami perspektif orang lain.

Mar, Oatley, dan Peterson (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa membaca fiksi, yang secara eksplisit menggunakan kata-kata untuk menggambarkan emosi dan situasi karakter, berhubungan dengan peningkatan kemampuan empati. Ketika siswa membaca tentang karakter yang menghadapi berbagai tantangan emosional, mereka belajar untuk memahami perasaan dan situasi orang lain.

Penelitian oleh Kidd dan Castano (2013) menunjukkan bahwa membaca fiksi sastra secara signifikan meningkatkan kemampuan seseorang untuk memahami keadaan emosional orang lain. Melalui kata-kata, pembaca dilatih untuk lebih memahami nuansa perasaan, pikiran, dan motivasi karakter.

Langkah praktis:

  1. Gunakan cerita yang berfokus pada hubungan antar- karakter dan perasaan mereka, serta minta siswa untuk membahas bagaimana perasaan mereka terhadap situasi tertentu dalam cerita.
  2. Guru bisa memandu diskusi tentang bagaimana kata-kata yang digunakan dalam dialog atau narasi membantu pembaca merasakan perasaan karakter.
  1. Penggunaan Kata dalam Pembelajaran Sosial dan Emosional Program pembelajaran sosial dan emosional (SEL) banyak menggunakan kata-kata  untuk  membangun  kesadaran  diri, pengelolaan emosi, dan keterampilan relasi sosial. Kata-kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari di sekolah dapat memperkuat pembelajaran tentang regulasi diri dan empati, serta mendorong pembentukan karakter yang baik.

    Durlak et al. (2011) menemukan bahwa program SEL yang efektif menggunakan kata-kata untuk membantu siswa mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi mereka, yang berdampak pada peningkatan kemampuan siswa untuk berempati dan mengelola hubungan interpersonal mereka. Pembelajaran ini melibatkan kata-kata yang jelas untuk menjelaskan perasaan seperti “frustrasi”, “senang”, atau “kecewa”.

    Schonert-Reichl et al. (2015) juga menunjukkan bahwa ketika siswa diajarkan menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan perasaan dan memahami perasaan orang lain, terjadi peningkatan signifikan dalam kemampuan sosial-emosi siswa, termasuk empati dan kerja sama.

    Langkah praktis:

    1. Gunakan bahasa yang tepat untuk membantu siswa mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi mereka, seperti “Saya merasa marah karena…” atau “Bagaimana perasaanmu ketika itu terjadi?”
    2. Dorong penggunaan kata-kata empatik dalam percakapan siswa, seperti “Bagaimana menurutmu dia merasa?” atau “Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu?”
    1. Kata sebagai Alat untuk Refleksi Diri dan Pengembangan Karakter

    Kata-kata yang digunakan dalam refleksi diri membantu siswa menyadari tindakan, keputusan, dan nilai mereka sendiri. Proses refleksi memungkinkan siswa untuk mengevaluasi karakter mereka sendiri dan membuat perubahan yang diperlukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

    Bandura (2001) dalam teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa melalui refleksi verbal (penggunaan kata-kata dalam dialog internal atau eksternal), individu belajar mengevaluasi tindakan mereka, memahami dampak dari perilaku mereka, dan memperbaiki perilaku untuk masa depan. Kata-kata yang digunakan dalam refleksi ini membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai moral dan sosial.

    Rogers (1961) juga menekankan pentingnya penggunaan bahasa dalam konseling dan pendidikan untuk membantu individu menyadari perasaan dan nilai mereka sendiri. Proses verbal ini memungkinkan siswa untuk membentuk karakter yang lebih kuat melalui pemahaman diri.

    Langkah praktis:

    1. Dorong siswa untuk menulis jurnal refleksi harian, di mana mereka menggunakan kata-kata untuk mengevaluasi perasaan dan tindakan mereka sendiri.
  2. Gunakan teknik bimbingan di mana siswa diajak berdialog tentang pilihan mereka dan dampak dari pilihan tersebut terhadap diri mereka dan orang lain.
  1. Pengaruh Kata dalam Interaksi Sehari-hari untuk Membangun Karakter Positif

Penggunaan kata-kata positif dalam interaksi sehari-hari di lingkungan sekolah berkontribusi pada pembentukan budaya yang mendukung karakter baik. Ketika siswa mendengar dan menggunakan kata-kata yang menegaskan nilai-nilai positif, seperti penghargaan, saling menghormati, dan dukungan, mereka belajar untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan mereka.

Berkowitz dan Bier (2005) dalam tinjauan mereka tentang pendidikan karakter menemukan bahwa lingkungan yang kaya dengan kata-kata yang menekankan nilai-nilai positif secara langsung berkontribusi pada pembentukan karakter siswa. Kata- kata positif dalam interaksi harian memperkuat perilaku baik dan membantu siswa menginternalisasi sikap moral yang mereka lihat dan dengar.

Langkah praktis:

  1. Buat kebiasaan memberikan pujian verbal di kelas dengan kata-kata yang spesifik seperti, “Saya bangga melihat kamu sangat bekerja keras hari ini” atau “Itu adalah tindakan yang sangat baik untuk membantu ”
  1. Mendorong siswa untuk saling memberikan kata-kata dukungan dan pujian dalam kegiatan kelompok.
2.3  Pembentukan Karakter Positif.

Bacaan yang baik, terutama yang memuat pesan moral, nilai-nilai etika, dan keteladanan, memiliki peran penting dalam membentuk karakter siswa. Kata-kata yang mengandung nilai- nilai positif menginspirasi peserta didik untuk meniru dan menerapkan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seorang siswa memiliki banyak kesempatan membaca dan terpapar pada cerita atau bacaan yang mengandug nilai moral, seperti kejujuran, empati, atau kerja keras, maka bacaan sebagai literatur yang kaya akan pesan etika dan pengalaman hidup akan menjadi bagian dari pengembangan dirinya

Namun Seorang siswa di SMP yang jarang membaca karya sastra seperti novel, cerpen, atau puisi yang memiliki pesan moral dan nilai-nilai kehidupan, siswa tersebut lebih sering membaca konten digital yang cenderung ringan, seperti media sosial atau berita selebritas. Siswa tidak memiliki banyak kesempatan untuk merenungkan berbagai sudut pandang dan pelajaran hidup dari tokoh-tokoh dalam cerita. berdampak pada pembentukan karakter yang kurang peka terhadap nilai-nilai tersebut. Siswa cenderung bersikap lebih individualis dan tidak peduli terhadap orang lain.
 
Penggunaan kata secara bijaksana memiliki dampak yang signifikan terhadap pembentukan karakter positif pada siswa. Kata-kata, baik yang diterima melalui komunikasi lisan, tulisan, atau bacaan, mampu membentuk pemikiran, sikap, dan perilaku seseorang. Dalam konteks pendidikan, penggunaan kata-kata yang bermakna, inspiratif, dan positif dapat membentuk karakter yang kuat dan etis pada siswa. Berikut adalah penjelasan mengenai dampak penggunaan kata dalam pembentukan karakter positif, dilengkapi dengan data dan referensi dari berbagai penelitian.

  1. Kata sebagai Alat untuk Memperkuat Nilai-Nilai Moral

Kata-kata adalah media utama untuk mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan rasa hormat. Ketika siswa terpapar pada kata-kata yang mencerminkan nilai-nilai ini, baik melalui pengajaran langsung, cerita, maupun interaksi sehari-hari, mereka cenderung menginternalisasi nilai-nilai tersebut.

Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character menjelaskan bahwa penggunaan kata-kata yang memperkuat nilai-nilai moral seperti “jujur”, “adil”, “peduli”, dan “bertanggung jawab” dalam komunikasi sehari-hari membantu siswa membentuk fondasi karakter positif. Ketika nilai-nilai moral secara eksplisit diungkapkan melalui kata-kata, siswa lebih mudah mengidentifikasi perilaku yang diharapkan.
 
Narvaez dan Lapsley (2009) menyoroti pentingnya kata- kata dalam diskusi moral untuk membangun kepekaan moral. Kata-kata yang digunakan dalam narasi moral membantu siswa untuk mengenali dan memahami implikasi moral dari tindakan mereka, yang kemudian memperkuat pengambilan keputusan yang etis.

Gunakan kata-kata yang mencerminkan nilai-nilai moral dalam interaksi sehari-hari dengan siswa, seperti “Itu adalah tindakan yang sangat bertanggung jawab” atau “Kamu menunjukkan rasa hormat yang baik kepada temanmu.”

Bacakan cerita atau buku yang mengandung pesan moral dan minta siswa untuk mendiskusikan bagaimana kata-kata tertentu dalam cerita tersebut mempengaruhi pemahaman mereka tentang karakter yang baik.

  1. Kata sebagai Penggerak Motivasi Positif

Kata-kata positif dan mendukung dapat memotivasi siswa untuk berusaha lebih keras dan meningkatkan rasa percaya diri. Umpan balik positif dari guru, orang tua, atau teman sebaya melalui kata-kata dapat memengaruhi cara siswa melihat kemampuan mereka, mendorong pembentukan karakter yang gigih, tidak mudah menyerah, dan optimis.

Dweck (2006) dalam konsep growth mindset menunjukkan bahwa pujian atas usaha (“kamu bekerja sangat keras”) lebih baik daripada kemampuan bawaan (“kamu pintar”) dalam membentuk karakter yang gigih dan tangguh. Umpan balik berbasis bisnis membantu siswa untuk menyadari bahwa mereka dapat terus berkembang melalui usaha keras, yang pada akhirnya membentuk sikap positif terhadap tantangan. Penelitian oleh Gunderson et al.

Penelitian tahun 2013 mendukung temuan tersebut, menunjukkan bahwa kata-kata yang fokus pada proses belajar dan self-improvement dapat meningkatkan perkembangan karakter yang tangguh dan percaya diri dalam menghadapi tantangan.

Langkah praktis:

  1. Beri pujian khusus pada usaha dan proses, misalnya “Kamu telah berusaha keras menyelesaikan soal ini, dan itu hebat” daripada “Kamu benar-benar pintar.”
  2. Ajarkan siswa cara menggunakan kata-kata positif saat menghadapi kesulitan, contohnya “Saya bisa belajar dari kesalahan ini” atau “Saya bisa mencoba cara lain.”
  1. Penggunaan Kata untuk Menumbuhkan Empati dan Kepedulian

Kata-kata yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dan kesusastraan bisa meningkatkan kemampuan siswa dalam berempati dengan orang lain. Kata-kata yang mengandung makna emosional, serta pengajaran eksplisit tentang cara merespons emosi orang lain, membantu siswa memahami perasaan orang lain dan memperkuat kepedulian sosial. Schonert-Reichl dkk. Studi pada tahun 2015 mengenai pendidikan sosial-emosional menunjukkan bahwa program yang mengajarkan siswa untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi melalui kata-kata seperti “Bagaimana perasaanmu?” atau “Apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu?” dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berempati dan peduli terhadap teman sebayanya.

Penelitian Mar, Oatley, dan Peterson pada tahun 2009 mengenai hubungan antara membaca fiksi dan empati menemukan bahwa paparan kata-kata dalam teks yang menggambarkan emosi karakter dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa untuk merasakan dan memahami perspektif orang lain. Ketika siswa membaca mengenai pengalaman emosional orang lain, mereka menjadi lebih peka terhadap perasaan orang-orang di sekitar mereka.

Langkah praktis:

  1. Dorong siswa untuk menggunakan kata-kata empatik dalam percakapan sehari-hari, seperti “Aku melihat kamu sedih, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?”
  2. Gunakan literatur yang mengeksplorasi tema-tema emosional untuk membantu siswa memahami perasaan orang lain dan membangun karakter yang peduli.
  1. Penggunaan Kata dalam Mengembangkan Tanggung Jawab Sosial

Siswa dapat belajar tentang pentingnya tanggung jawab sosial dengan menggunakan kata-kata yang menekankan bagaimana membuat kontribusi positif kepada masyarakat dan lingkungan. Dengan menggunakan kata-kata ini, mereka belajar bertindak secara moral dan bertanggung jawab.

Menurut Berkowitz dan Bier (2005), pendidikan karakter yang efektif sering menggunakan istilah yang mendorong tanggung jawab sosial, seperti “kontribusi”, “kewajiban”, dan “komunitas.” Ketika siswa diberikan cerita yang menekankan pentingnya bertanggung jawab terhadap orang lain, mereka lebih cenderung melakukan hal-hal yang membantu komunitas mereka. Menurut Rest et al. (1999), model empat komponen pendidikan moral dibuat. Mereka menekankan betapa pentingnya berbicara  tentang  moral  dan  menggunakan  kata-kata  yang mendorong pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

 
Langkah praktis:

  1. Diskusikan pentingnya tanggung jawab sosial dengan menggunakan kata-kata seperti “kontribusi” dan “pengaruh” dalam konteks tindakan mereka sehari-hari.
  2. Libatkan siswa dalam proyek layanan masyarakat, dan dorong mereka untuk menggunakan bahasa yang mencerminkan tanggung jawab sosial mereka.
  1. Penggunaan Kata dalam Membangun Integritas

Kata-kata memiliki kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai seperti integritas dan kejujuran. Ketika siswa diberi contoh penggunaan kata-kata yang jujur dan etis, serta didorong untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan mereka secara transparan, mereka mengembangkan karakter yang berintegritas.

Menurut Berkowitz dan Bier (2004), pembentukan karakter siswa yang jujur dan beretika dipengaruhi oleh penggunaan kata-kata dalam diskusi moral yang menekankan kejujuran dan integritas. Siswa lebih cenderung bertindak secara jujur dan sesuai dengan nilai-nilai moral mereka melalui diskusi dan refleksi tentang kejujuran.

Lickona (1991) menegaskan bahwa penggunaan kata-kata yang mengajarkan kejujuran sangat penting dalam pengajaran moral. Siswa belajar bahwa kebenaran adalah dasar dari karakter yang baik ketika mereka didorong untuk mengatakan kebenaran bahkan dalam situasi sulit.

Langkah praktis:

  1. Dorong siswa untuk berbicara jujur dalam segala situasi, dengan memberikan contoh kata-kata yang menggambarkan kejujuran, seperti “aku akan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.”
  2. Ciptakan lingkungan di mana kata-kata yang jujur dihargai, dan siswa merasa aman untuk mengakui kesalahan mereka tanpa rasa takut akan hukuman yang tidak proporsional.
2.4. Pengembangan Imajinasi dan Kreativitas

Saat siswa membaca deskripsi kata-kata yang rinci dalam teks, otak mereka bekerja untuk membayangkan apa yang mereka baca. Proses ini tidak hanya merangsang Imajinasi dan meningkatkan daya imajinasi, tetapi juga mengembangkan kemampuan berpikir kreatif.

Penggunaan kata-kata yang kaya dalam bacaan juga membantu siswa dalam memahami konsep-konsep abstrak.Kemampuan abstrak mereka terasah. Mereka belajar menyusun gagasan, memahami simbolisme, dan mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks.

Namun, ketika siswa jarang membaca, terutama bacaan nonfiksi yang mendidik, mereka kehilangan peluang untuk memahami kondisi di luar pengalaman pribadi mereka. Siswa menjadi kurang peduli terhadap isu-isu sosial, tidak tergerak untuk berpartisipasi dalam kegiatan amal atau kegiatan yang bertujuan membantu orang lain. Kurangnya minat baca menghambat kreativitas dan pengembangan karakter yang peduli terhadap masyarakat luas dan lingkungan sekitarnya.

Penggunaan kata yang tepat dan kaya dapat memiliki dampak besar terhadap pengembangan imajinasi dan kreativitas siswa. Kata-kata yang dipilih secara hati-hati dalam bacaan, cerita, dan percakapan sehari-hari membantu membentuk kemampuan siswa untuk berpikir di luar batas-batas konvensional, serta merangsang mereka untuk menghasilkan ide-ide baru, menyusun cerita, atau memvisualisasikan hal-hal yang tidak kasat mata. Berikut adalah uraian mengenai dampak penggunaan kata terhadap pengembangan imajinasi dan kreativitas, lengkap dengan data pendukung dan referensi pustaka.

  1. Kata sebagai Pemicu Imajinasi Visual

Kata-kata yang kaya deskripsi, seperti yang sering ditemukan dalam literatur dan narasi cerita, dapat memicu siswa untuk membayangkan situasi, karakter, dan lingkungan yang berbeda. Kata-kata yang mendeskripsikan suasana, warna, bentuk, dan emosi mendorong siswa untuk menciptakan gambaran mental dari hal-hal yang tidak terlihat, yang secara langsung merangsang perkembangan imajinasi.

Menurut Pylyshyn (2002), dalam teorinya tentang citra mental, kata-kata yang menggambarkan detail visual langsung merangsang aktivitas otak yang sama dengan saat melihat gambar nyata. Hal ini menunjukkan bahwa deskripsi kata-kata yang kaya akan detail visual memungkinkan siswa untuk “melihat” melalui imajinasi mereka, meskipun mereka tidak secara fisik melihatnya. Fisher (2004) menemukan bahwa cerita yang kaya dengan detail            deskriptif            meningkatkan                      kemampuan    siswa    untuk memvisualisasikan karakter, tempat, dan peristiwa, yang pada akhirnya memperkuat imajinasi mereka. Bacaan yang mendetail membantu siswa membentuk gambaran imajinatif dalam pikiran mereka.

 
Langkah praktis:

  1. Gunakan buku atau teks yang kaya dengan deskripsi visual dan minta siswa untuk menggambarkan atau menggambar apa yang mereka bayangkan saat membaca.
  2. Ajarkan siswa untuk memperhatikan kata-kata deskriptif dan bagaimana kata-kata tersebut dapat memengaruhi persepsi visual mereka.
  3. Libatkan siswa dalam kegiatan seperti creative writing, di mana mereka harus menggunakan kata-kata untuk menggambarkan suasana atau tempat yang mereka
  1. Kata sebagai Alat untuk Mengembangkan Berpikir Divergen Kreativitas sering kali dikaitkan dengan kemampuan untuk berpikir secara divergen, yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai ide atau solusi yang beragam dari satu masalah atau situasi. Kata-kata yang merangsang pemikiran abstrak, analogi, dan metafora dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir divergen, yang merupakan komponen utama dari kreativitas.

Menurut Guilford (1967), dalam penelitiannya tentang kreativitas, diketahui bahwa penggunaan kata-kata yang memfasilitasi eksplorasi makna ganda atau metafora dapat mendorong pemikiran yang beragam. Kata-kata yang tidak langsung atau abstrak membantu siswa melihat situasi dari berbagai perspektif dan memunculkan ide-ide baru.

 

Ward, Smith, dan Vaid (1997) dalam teori creative cognition mereka menyatakan bahwa kata-kata yang menantang siswa untuk membuat asosiasi bebas antara konsep yang tidak biasa dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menemukan solusi kreatif. Penggunaan analogi, metaphor, atau permainan kata dapat membantu siswa berpikir lebih fleksibel dan kreatif.

Langkah praktis:

  1. Dorong siswa untuk menggunakan kata-kata yang abstrak atau metaforis dalam percakapan atau tulisan, misalnya dengan meminta mereka menulis puisi atau membuat analogi untuk ide-ide tertentu.
  2. Lakukan kegiatan “brainstorming” di mana siswa diajak untuk memunculkan sebanyak mungkin ide atau solusi menggunakan kata-kata yang berbeda-beda.
  3. Berikan siswa tugas kreatif seperti menulis cerita di mana mereka harus menggunakan kata-kata yang tidak umum atau menyatukan konsep-konsep yang berbeda secara
  1. Kata sebagai Pemantik Penciptaan Dunia Baru dalam Fiksi Dalam karya-karya fiksi, baik yang dibaca maupun ditulis oleh siswa, kata-kata membantu menciptakan dunia yang sepenuhnya baru, karakter-karakter yang unik, dan skenario yang imajinatif. Kata-kata ini memungkinkan siswa untuk melampaui batasan dunia nyata dan menciptakan narasi yang tidak terikat oleh

hukum fisika atau realitas sehari-hari, yang sangat mendukung perkembangan kreativitas.

Vygotsky (2004) dalam teori Permainan Imajinatif menekankan bahwa bahasa, khususnya dalam bentuk cerita atau permainan fiksi, memungkinkan anak-anak untuk menciptakan realitas alternatif.

Menurut Oatley (2016), membaca dan menulis fiksi memberikan alat bagi individu untuk mengembangkan kreativitas mereka melalui skenario imajiner. Kata-kata dalam karya fiksi memperkenalkan siswa pada berbagai kemungkinan narasi dan perspektif, yang memperluas imajinasi mereka.

Langkah praktis:

  1. Berikan siswa kesempatan untuk menulis cerita pendek di mana mereka harus menciptakan dunia baru yang diisi dengan elemen imajiner, menggunakan kata-kata yang inventif dan deskriptif.
  2. Gunakan literatur fiksi sebagai bahan bacaan utama di kelas untuk menstimulasi imajinasi siswa.
  3. Ajak siswa berdiskusi tentang bagaimana kata-kata digunakan oleh penulis fiksi untuk menciptakan dunia dan karakter yang unik.
  1. Kata sebagai Instrumen untuk Mengasah Keterampilan Berpikir Kreatif melalui Permainan Bahasa

Permainan kata dan teka-teki bahasa merangsang otak untuk berpikir kreatif. Penggunaan kata-kata dalam konteks permainan seperti teka-teki silang, permainan anagram, atau permainan cerita berantai mengembangkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah, berimajinasi, dan bermain dengan konsep bahasa yang berbeda.

McCrae (1987) menemukan bahwa mereka yang sering bermain kata memiliki kemampuan berpikir kreatif yang lebih tinggi. Permainan bahasa yang melibatkan penggabungan atau manipulasi kata membantu siswa dalam mengembangkan fleksibilitas mental dan imajinatif.

Langkah praktis:

  1. Gunakan permainan kata seperti Scrabble, teka-teki silang, atau permainan “cerita berantai” untuk merangsang kreativitas siswa.
  2. Minta siswa untuk membuat puisi atau cerita pendek dari kata-kata acak yang diberikan kepada mereka.
  3. Lakukan kegiatan di mana siswa harus menciptakan kata- kata baru atau istilah imajinatif dan kemudian memberikan definisi atau konteks penggunaannya.
  1. Kata sebagai Media untuk Merangsang Kreasi dalam Seni dan Desain

Kata-kata sering kali menjadi inspirasi untuk kreasi dalam bidang seni dan desain. Penggunaan deskripsi verbal atau tertulis dapat membantu siswa merancang karya visual atau artistik, di mana mereka menggunakan imajinasi untuk “menerjemahkan” kata-kata menjadi gambar, bentuk, atau desain.

 
Menurut Eisner (2002) dalam bukunya yang berjudul The Arts and the Creation of Mind, ia menyoroti bahwa penggunaan kata-kata dalam deskripsi seni atau instruksi verbal dapat membantu siswa membayangkan bentuk visual yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Penggunaan kata-kata untuk menggambarkan elemen artistik merangsang sisi kreatif otak yang terkait dengan visualisasi dan desain.

Gardner (1983) dalam teori kecerdasan ganda menekankan bahwa kecerdasan linguistik dan spasial sering kali berhubungan erat dalam proses kreatif. Kata-kata deskriptif langsung dapat memicu visualisasi, yang memudahkan pembuatan karya visual atau artistik yang lebih imajinatif.Langkah praktis:

  1. Ajak siswa untuk menggambarkan kata-kata atau deskripsi verbal dalam bentuk visual atau seni, seperti meminta mereka menggambar suasana yang dijelaskan dalam sebuah cerita.
  2. Berikan siswa tugas desain di mana mereka harus menerjemahkan kata-kata abstrak atau deskripsi menjadi karya seni atau model fisik.
  3. Gunakan kata-kata yang berhubungan dengan elemen artistik seperti “warna”, “tekstur”, atau “bentuk” untuk membantu siswa membayangkan karya seni yang mereka

 
Bagian III

STRATEGI GURU UNTUK MENUMBUHKAN PEMBACA SEJATI

Beberapa penelitian yang dirujuk oleh Billi Antoro menunjukkan bahwa membaca memiliki manfaat positif bagi kesehatan otak dan dapat meningkatkan kecerdasan linguistik dan logis. Anak yang suka membaca akan memiliki pemahaman yang baik tentang topik dan masalah yang diajarkan di sekolah atau dalam kehidupannya (Antoro, 2017, dalam Ariyani dan Purnomo, 2023:72).

Untuk menjadikan siswa sebagai pembaca sejati melalui pembelajaran dari kata, guru perlu menerapkan strategi yang terencana dan berkelanjutan. Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:
 

3.1  Mengaitkan Pembelajaran Dengan Pengalaman Hidup

Menumbuhkan siswa menjadi pembaca sejati bukan hanya soal mendorong mereka untuk membaca lebih banyak, tetapi juga bagaimana guru dapat menciptakan pengalaman yang relevan dan bermakna, serta mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari.

Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh guru:

  1. Penyediaan Bahan Bacaan yang Relevan dan Kontekstual

Guru harus menyediakan bahan bacaan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Menurut Hasanudin (2020), minat siswa lebih tertuju pada bacaan yang terkait dengan lingkungan mereka atau isu-isu yang sedang mereka alami. Oleh karena itu, guru perlu memilih bahan ajar yang cocok dengan konteks sosial-budaya siswa, seperti cerita rakyat lokal, artikel berita terkini, atau bacaan mengenai isu-isu remaja.

Contoh Implementasi: Guru bisa menyediakan artikel tentang dampak media sosial terhadap remaja atau cerpen yang menggambarkan masalah-masalah yang sering dihadapi oleh siswa, seperti perundungan atau persahabatan. Dengan cara ini, siswa dapat merasakan manfaat langsung dari membaca dan lebih termotivasi untuk terus belajar.

  1. Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran yang dikaitkan dengan situasi nyata di sekitar siswa dapat membantu mereka memahami pentingnya membaca dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pendekatan ini, guru menghubungkan isi bacaan dengan pengalaman siswa sendiri. Misalnya, ketika belajar tentang lingkungan, siswa dapat membaca artikel tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di kota mereka.

Menurut Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, pembelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari akan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar dan memahami materi lebih mendalam. Guru harus mampu mengaitkan isi bacaan dengan fenomena yang siswa hadapi di luar kelas
 
Contoh Implementasi: Misalnya, ketika mengajarkan teks eksplanasi tentang banjir, guru dapat menghubungkan bacaan tersebut dengan banjir yang mungkin pernah terjadi di lingkungan siswa. Dengan demikian, siswa tidak hanya memahami teks, tetapi juga memahami konteks yang lebih luas terkait isu yang mereka baca.
 

  1. Diskusi Terbuka tentang Isi Bacaan

Salah satu metode untuk meningkatkan minat membaca adalah dengan menyelenggarakan diskusi yang kritis terhadap materi bacaan. Ini memungkinkan siswa untuk mengekspresikan pendapat, bertanya, dan mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki. Menurut Setyaningsih (2018), diskusi dapat memperkuat pemahaman siswa karena mereka harus mengkritisi dan mengaitkan bacaan dengan realitas kehidupan sehari-hari.

Contoh Implementasi: Guru dapat membagi siswa ke dalam kelompok kecil untuk berdiskusi tentang topik yang relevan dari bacaan, seperti dampak polusi udara di kota besar atau peran teknologi dalam kehidupan remaja. Dalam diskusi, siswa didorong untuk memberikan pandangan mereka berdasarkan bacaan dan pengalaman pribadi.

  1. Pemanfaatan Teknologi

Teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk menumbuhkan minat membaca. Dengan perkembangan web dan perangkat teknologi, guru dapat memberikan akses kepada siswa untuk membaca melalui platform online, seperti e-book atau artikel online yang terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Menurut Handayani (2020), teknologi dapat memperkaya pengalaman belajar siswa dengan memberikan akses ke berbagai jenis bacaan dan sumber informasi yang relevan. Penggunaan teknologi juga memudahkan siswa untuk menemukan informasi tambahan yang bisa memperdalam pemahaman mereka terhadap materi yang dibahas.
 
Contoh Implementasi:

Guru dapat menggunakan aplikasi perpustakaan digital untuk memberikan akses ke buku-buku yang relevan dengan topik pembelajaran. Selain itu, guru dapat mengarahkan siswa untuk mencari artikel, video, atau infografis terkait materi yang sedang dipelajari.

  1. Penilaian yang Mendukung Minat Baca

Penilaian yang mendorong siswa untuk membaca lebih banyak dan lebih dalam juga dapat digunakan sebagai strategi untuk meningkatkan minat baca. Misalnya, alih-alih memberikan soal-soal pilihan ganda, guru bisa memberikan tugas yang meminta siswa untuk membaca buku atau artikel, kemudian membuat ringkasan atau esai yang menghubungkan isi bacaan dengan kehidupan nyata mereka.
 
Menurut Wahyuni (2019), penilaian yang mendorong pemikiran kritis dan reflektif akan membuat siswa lebih memahami bacaan dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memberikan tugas yang relevan, guru bisa menumbuhkan kebiasaan membaca yang bermanfaat dalam jangka panjang.

Menggunakan teks yang relevan dengan latar belakang, pengalaman, dan minat siswa, membantu siswa melihat bagaimana teks dapat memberikan wawasan baru atau menyentuh kehidupan mereka secara individual.

Menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi dan merefleksikan bagaimana buku memengaruhi cara mereka memandang dunia.

Memilih bacaan yang relevan, teks yang berkaitan dengan pengalaman sehari-hari siswa, atau isu-isu yang dekat dengan kehidupan mereka. Bacaan yang relevan lebih menarik bagi siswa dan membantu mereka terlibat lebih dalam.

Membuat aktivitas literasi kontekstual, yang mengaitkan teks dengan kehidupan nyata. Misalnya, setelah membaca tentang masalah lingkungan, siswa bisa diminta melakukan kegiatan daur ulang di rumah atau sekolah.
 

3.2  Membangun Lingkungan Literasi Yang Mendukung

Menciptakan lingkungan literasi di sekolah misalnya dengan  menciptakan  kelas  yang  kaya  kata.   Guru  harus menyediakan berbagai materi bacaan yang menarik, baik fiksi maupun nonfiksi, yang sesuai dengan minat dan tingkat keterbacaan siswa. Ini bisa berupa buku, artikel, komik, puisi, dan media lainnya.

Lingkungan kelas yang mendukung dapat diciptakan dengan menyediakan sudut baca yang nyaman, buku yang selalu tersedia, dan kegiatan yang memacu minat membaca seperti sesi bercerita, presentasi buku, atau diskusi kelompok. “Suasana yang nyaman, pojok baca, dan ketersediaan buku di kelas dapat membantu siswa membiasakan diri membaca” (Priyatni, 2014).

Selain itu juga, guru dapat memajang kata-kata baru atau kosakata menarik yang ditemukan siswa dari bacaan mereka di dinding kelas. Jadikan lingkungan belajar penuh dengan kata-kata yang dapat diakses dan dipahami siswa.

Dapat pula dengan membuat Sudut membaca.Ciptakan sudut membaca di kelas yang nyaman dan mengundang siswa untuk membaca di waktu luang. Tempat ini harus memiliki berbagai buku yang disusun rapi dan mudah dijangkau.

Dalam membangun budaya literasi yang positif di sekolah, dapat juga dilaksanakan dengan cara:

  1. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi

Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik akan menunjukkan pengembangan budaya literasi. Dalam hal ini setiap sekolah perlu memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah.

  1. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif

Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademis, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah. Sekolah bisa menyelenggarakan festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya.agar literasi dapat mewarnai semua perayaan penting di sekolah sepanjang tahun.

  1. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademis yang literat

 

Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademis. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan/atau guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya. Sobat SMP juga dapat mengunduh modul- modul yang diterbitkan Direktorat SMP sebagai bahan bacaan yang dapat mendukung gerakan literasi di sekolah.

Sumber : http://ditsmp.kemdikbud.go.id/3-strategi-penting- membangun-budaya-literasi-di-sekolah/

 

3.3   Mengajarkan Strategi Membaca Aktif

Membaca aktif melibatkan siswa dalam proses analisis dan pembuatan kesimpulan terhadap informasi yang dibaca, bukan sekadar membaca saja (Tarigan, 2008). Mengajarkan membaca aktif, contohnya dapat menggunakan beberapa strategi seperti:

  1. Menyediakan Beragam Bahan Bacaan

Guru harus menyediakan berbagai jenis bahan bacaan yang relevan dan menarik bagi siswa. Bahan bacaan harus disesuaikan dengan minat, usia, serta tingkat pemahaman siswa. Guru juga bisa meminta saran dari siswa mengenai jenis buku yang mereka minati untuk meningkatkan keterlibatan mereka. “Bahan bacaan yang beragam akan mendorong minat siswa untuk membaca, karena mereka dapat memilih teks yang sesuai dengan ketertarikannya” (Sulistyo, 2011).

  1. Mengajarkan Keterampilan Membaca Aktif

Guru perlu mengajarkan strategi membaca aktif seperti membuat prediksi, mengajukan pertanyaan, mengidentifikasi ide pokok, merangkum, dan membuat inferensi. Strategi ini akan membantu siswa lebih terlibat secara mental dan kritis dalam proses membaca.

Sebelum membaca teks, ajarkan siswa untuk melihat judul, subjudul, dan gambar untuk memprediksi isi teks. Ini membuat mereka lebih siap secara mental untuk memahami bacaan.

Membuat catatan dengan mengajak siswa untuk mencatat kata-kata baru, ide-ide penting, atau pertanyaan yang muncul selama membaca. Ini membantu meningkatkan pemahaman dan memberi kesempatan untuk mendiskusikan pemahaman mereka setelah membaca.

  1. Membaca reflektif

Setelah membaca, dorong siswa untuk merenungkan apa yang telah mereka pelajari, bagaimana teks tersebut memengaruhi mereka, dan apa yang mereka sukai atau tidak sukai dari bacaan.
 
Guru juga bisa memberikan tugas berbasis teks bacaan, seperti merangkum, menganalisis karakter, atau membandingkan perspektif. Dengan tugas ini, siswa didorong untuk berpikir kritis dan kreatif terhadap isi bacaan, sekaligus memperkuat pemahaman mereka. Metode membaca berbasis tugas meningkatkan keterlibatan siswa karena mereka memiliki tujuan yang jelas dalam membaca dan memproses informasi (Nurhadi, 2009).
 

3.4  . Meningkatkan Kosakata melalui Kata-kata Baru

penggunaan kata-kata tertentu dalam kegiatan membaca dan interaksi sehari-hari dapat secara signifikan meningkatkan berbagai aspek kognisi anak, termasuk kosakata, pemahaman, kemampuan berpikir kritis, dan empati. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memperhatikan dan menerapkan kosakata yang kaya dan beragam dalam proses pembelajaran anak.

Penelitian oleh Beck & McKeown (2007) menunjukkan bahwa intervensi yang berfokus pada kosakata bisa meningkatkan pemahaman bacaan anak. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang terpapar dengan kata-kata baru dalam konteks bacaan menunjukkan kemajuan signifikan dalam pemahaman teks. keterlibatan dalam diskusi verbal dan penggunaan kata- kata kognitif selama membaca dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis anak.Penelitian yang dilakukan oleh Hattie (2009) mencatat bahwa interaksi ini berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan hasil belajar.

Menumbuhkan empati melalui bacaan fiksi. anak-anak yang membaca fiksi, yang sering kali kaya akan kata-kata emosional dan berhubungan, menunjukkan peningkatan dalam kemampuan empati. Mereka menilai bahwa membaca fiksi membantu anak memahami perasaan dan perspektif orang lain menurut Penelitian oleh Mar et al. (2006).

beberapa strategi yang dapat kita terapkan agar anak memiliki perbendaharaan kosa kata yang banyak,adalah :

Penggunaan kosakata kontekstual: Ajarkan siswa cara menebak arti kata baru dari konteks kalimat. Guru bisa menunjukkan bagaimana petunjuk dari teks seperti sinonim atau antonim membantu memahami arti kata.

Pengayaan kata: Lakukan aktivitas yang memperkenalkan kata-kata baru setiap hari, misalnya, “Kata Hari Ini”, di mana setiap hari siswa belajar satu kata baru dan menggunakannya dalam kalimat atau percakapan mereka.

Permainan kata: Ciptakan permainan interaktif, seperti teka-teki silang atau permainan sinonim dan antonim, untuk meningkatkan kosakata dan membuat pembelajaran kata-kata baru lebih menyenangkan
 

3.5. Menumbuhkan Kebiasaan Membaca yang Berkelanjutan

Menumbuhkan kebiasaan membaca yang berkelanjutan dapat dilakukan melalui kebiasaan membaca. Guru harus menerapkan berbagai strategi yang melibatkan aspek lingkungan, metode pembelajaran, serta dukungan dari berbagai pihak, termasuk keluarga dan komunitas.

Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membangun pembiasaan membaca siswa menjadi suatu kebiasaan yaitu:

  1. Membangun Budaya Membaca di Kelas

Guru perlu menciptakan budaya membaca yang kuat di kelas. Salah satu caranya adalah dengan mengalokasikan waktu khusus untuk kegiatan membaca setiap hari. Program seperti “15 Menit Membaca” sebelum memulai pelajaran dapat membantu siswa mengembangkan kebiasaan membaca secara rutin.

Menurut Priyanti (2014), dengan memberikan waktu harian untuk membaca, guru secara tidak langsung mendorong siswa untuk terus berinteraksi dengan teks secara konsisten dan teratur.

  1. Memanfaatkan Program Membaca Terstruktur

Guru dapat merancang program membaca terstruktur, misalnya program membaca mingguan atau bulanan di mana siswa diminta membaca buku tertentu dan menyusun laporan atau presentasi. Program ini memungkinkan siswa untuk tidak hanya membaca tetapi juga memahami dan mendiskusikan isi buku dengan teman-temannya.

“Program membaca yang terstruktur dapat meningkatkan komitmen siswa terhadap kebiasaan membaca yang berkelanjutan” (Nurhadi, 2009).

  1. Memberikan Akses ke Beragam Bahan Bacaan

Untuk menjaga kebiasaan membaca, guru harus menyediakan akses yang mudah ke berbagai jenis bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi. Selain buku teks, majalah, komik, dan artikel ilmiah yang disesuaikan dengan minat siswa juga penting untuk disediakan. Guru juga bisa memanfaatkan perpustakaan sekolah atau sumber bacaan digital

“Ketersediaan bahan bacaan yang beragam sangat berpengaruh pada kebiasaan membaca siswa karena mereka bisa memilih buku yang sesuai dengan minat mereka” (Sulistyo, 2011).

  1. Menggunakan Pendekatan Literasi Tematik

Pendekatan ini mengaitkan kegiatan membaca dengan topik yang sedang dipelajari dalam mata pelajaran lain. Misalnya, ketika mempelajari topik sejarah, guru bisa meminta siswa membaca biografi tokoh sejarah atau buku nonfiksi yang terkait. Dengan mengaitkan bacaan dengan kurikulum, siswa akan melihat manfaat membaca dalam memperkaya pengetahuan mereka.
 
Menurut Zuchdi (2013). Metode literasi tematik membantu siswa menghubungkan bacaan dengan pengalaman belajar mereka secara lebih luas, sehingga mendorong mereka untuk terus membaca.

Untuk menumbuhkan kebiasaan membaca, strategi yang dapat kita lakukan diantarnaya:

Menetapkan waktu khusus setiap hari untuk membaca bebas. Ini bisa menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh siswa untuk menikmati bacaan mereka tanpa tekanan tugas akademis.

Membaca bersama. Ajak siswa untuk membaca buku yang sama dan berdiskusi tentang isinya. Diskusi kelompok atau klub buku kecil dapat membantu siswa melihat berbagai perspektif dari satu teks.

Sesi berbagi bacaan. Buat program di mana siswa bisa berbagi tentang buku yang mereka baca dengan teman sekelas, misalnya melalui resensi buku sederhana atau presentasi.

  1. Mengembangkan Diskusi dan Klub Membaca

Guru bisa mengadakan diskusi buku di kelas atau membentuk klub membaca di mana siswa dapat berbagi pengalaman mereka tentang buku yang telah dibaca. Melalui diskusi, siswa tidak hanya termotivasi untuk membaca tetapi juga belajar mengkritisi dan menganalisis bacaan mereka.

“Diskusi buku atau klub membaca di sekolah bisa menjadi forum bagi siswa untuk saling berbagi dan memperkaya pemahaman mereka terhadap berbagai jenis bacaan” (Tarigan, 2008).

  1. Membuat Program Membaca Mandiri

Guru dapat mendorong siswa untuk menentukan sendiri buku yang ingin mereka baca di luar jam pelajaran. Membaca mandiri ini harus tetap dipantau oleh guru dengan cara mengadakan sesi berbagi di kelas atau memberikan tugas ringan seperti membuat ringkasan buku.

“Program membaca mandiri mendorong siswa untuk mengambil tanggung jawab terhadap pengembangan literasi mereka sendiri” (Sugiyono, 2010).
 

  1. Melibatkan Teknologi dalam Membaca

Mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan membaca dapat membantu menjaga kebiasaan membaca yang berkelanjutan, terutama di era digital ini. Guru bisa memanfaatkan aplikasi membaca, e-book, atau sumber bacaan online yang mudah diakses oleh siswa kapan saja dan di mana saja.

“Pemanfaatan teknologi dalam literasi membantu siswa mengakses lebih banyak bacaan serta membuat kegiatan membaca lebih menarik dan fleksibel” (Suyanto, 2013).

  1. Mengadakan Kegiatan Literasi Ekstrakurikuler

Guru dapat merancang kegiatan ekstrakurikuler seperti lomba membaca, resensi buku, atau storytelling yang melibatkan siswa. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan minat siswa dalam membaca tetapi juga memberikan pengalaman baru dan interaktif terkait dengan literasi.

“Kegiatan literasi ekstrakurikuler dapat memperkuat budaya membaca di kalangan siswa dan membuat kegiatan literasi menjadi lebih menyenangkan” (Agustina, 2015).
 

3.6. Memotivasi Melalui Reward atau Penghargaan

Penghargaan dan pengakuan dapat mendorong anak-anak untuk membaca dengan aktif. Reward yang diberikan kepada anak-anak yang aktif membaca bertujuan untuk mendorong mereka agar terus melanjutkan kebiasaan membaca. Selain itu, anak-anak yang kurang gemar membaca akan termotivasi untuk membaca demi mendapatkan reward yang sama dengan teman- temannya yang gemar membaca. “Pemberian penghargaan kepada siswa atas prestasi membaca dapat meningkatkan motivasi mereka untuk terus membaca” (Agustina, 2015).

Reward yang diberikan dapat berupa Pujian dan pengakuan: Beri penghargaan kepada siswa yang aktif membaca dan memperkaya kosakata mereka. Penghargaan ini bisa berupa sertifikat, poin, atau sekadar pengakuan verbal di depan kelas.

Selain itu berikan siswa program tantangan membaca. Ciptakan tantangan membaca yang mendorong siswa untuk membaca sejumlah buku dalam jangka waktu tertentu, dengan hadiah kecil atau sertifikat sebagai motivasi tambahan. Menerapkan Sistem Penghargaan dan Apresiasi

Sistem penghargaan bisa diterapkan sebagai dorongan bagi siswa untuk menjaga kebiasaan membaca. Guru dapat memberikan penghargaan berupa sertifikat atau pengakuan bagi siswa yang mencapai target membaca tertentu. Namun, penghargaan ini tidak hanya berupa hadiah materi, tetapi juga berupa apresiasi lisan atau pujian yang tulus dari guru.

 

3.7 Melibatkan Orang Tua dan Komunitas

Peran orangtua sangat penting untuk menumbuhkembangkan minat baca anak. Keterlibatan orang tua misalnya: mendorong orang tua untuk melibatkan anak mereka dalam aktivitas membaca di rumah, misalnya dengan membaca bersama atau membahas buku yang sedang dibaca anak.

Peran orang tua sangat penting dalam mendukung kebiasaan membaca yang berkelanjutan. Guru dapat melibatkan orang tua dengan cara menginformasikan pentingnya membaca di rumah, menyediakan daftar buku yang direkomendasikan, atau mengajak orang tua untuk membaca bersama anak-anak mereka di rumah.

Kerjasama antara sekolah dan keluarga penting untuk menciptakan kebiasaan membaca yang berkelanjutan. Guru dapat melibatkan orang tua dan komunitas dalam mendukung kebiasaan membaca  siswa.  Guru  bisa  mengajak  orang  tua  untuk mendampingi anak membaca di rumah atau mengadakan kegiatan membaca bersama di sekolah. Dukungan dari luar sekolah akan memperkuat kebiasaan membaca yang terbentuk di kelas. Kerjasama antara guru, orang tua, dan komunitas sangat penting dalam membentuk budaya literasi di sekolah dan rumah (Agustina, 2015; Yanto, 2013).

Orang tua juga dapat bekerja sama dengan perpustakaan lokal. Dengan mengajak anak ke perpustakaan lokal mengenalkan dan menemani mereka mengenal buku dan mau membaca buku- buku yang ada di perpustakan tersebut.

Mengajak anak ke toko buku, Membeli buku untuk mendukung program literasi di sekolah, misalnya dengan menyumbangkan buku atau mengadakan acara literasi seperti bedah buku atau bercerita.
 

3.8.  Menyediakan Umpan Balik yang Konstruktif

Guru perlu memberikan motivasi dan umpan balik yang membangun serta motivasi kepada siswa untuk terus membaca.

Pujian terhadap keberhasilan siswa dalam pemahaman teks atau apresiasi terhadap usaha mereka sangat penting dalam pengembangan rasa percaya diri siswa sebagai pembaca. “Umpan balik positif dan motivasi dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam membaca dan membuat mereka merasa dihargai” (Sugiyono, 2010).
 
Diskusi individual: Lakukan percakapan dengan siswa tentang kemajuan mereka dalam membaca, kata-kata baru yang mereka pelajari, dan apa yang mereka temukan menarik dari bacaan mereka.

Tindak lanjut yang rutin: Buat catatan perkembangan keterampilan membaca siswa dan berikan umpan balik secara berkala. Bantu siswa yang mungkin mengalami kesulitan dengan memberikan strategi tambahan.